Al-Ustadz
Marwan
Wanita
salihah memiliki sikap santun dan penuh kewibawaan, tenang dalam berucap dan
beraktivitas, tidak sering menolehkan badan dan wajah saat berjalan. Oleh
karena itu, ketika dia berbicara, orang yang diajak bicara pun mendengarkan dan
menghargainya. Muslimah lain yang melihatnya pun menghormati dan memuliakannya.
Sungguh, dia penuh karisma.
Itulah salah
satu akhlak mulia yang mesti menghiasi jiwa setiap muslimah. Diriwayatkan oleh
al-Imam al-Bukhari (no. 6117), dari Busyair bin Ka’ab, dia menuturkan,
“Termaktub dalam untaian ucapan hikmah, ‘Sesungguhnya sifat malu melahirkan
kewibawaan dan ketenangan’.”
Makna
السَّكِينَةُ (ketenangan) adalah tidak banyak menggerakkan anggota badan dan
tidak gegabah (grusa-grusu, Jawa) dalam berperilaku, tetapi tenang hati,
gerakan anggota badan, dan ucapannya. Sifat ini biasanya tidak terpisahkan
dengan الْوَقَارُ (kewibawaan), yaitu tabiat baik yang menyebabkan
pemiliknya dihormati dan dimuliakan oleh orang yang melihatnya.
An-Nawawi rahimahullah
menerangkan, “Perbedaan antara as-sakinah dan al-waqar adalah
bahwa as-sakinah itu tidak tergesa-gesa dalam setiap gerak-gerik dan
menjauhi hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-waqar adalah berpenampilan
tenang, menundukkan pandangan, menjaga suara dalam bertutur kata, dan tidak
menolah-nolehkan badan ataupun penglihatan.”
Dua sifat
tersebut adalah sifat terbaik yang dikaruniakan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala kepada seorang hamba. Jika hamba tidak memiliki dua sifat mulia
tersebut dan justru memiliki sifat kebalikannya, sungguh dia tidak memiliki
kepribadian yang baik. Dia tidak lagi menyandang kewibawaan akhlak mulia. Dia
tidak pula memiliki ketenangan berperilaku. Sebaliknya, jiwa dan pribadinya
hina di hadapan orang lain.
Lawan kedua
sifat tersebut adalah sering menggerakkan anggota badan, sering menoleh, dan
bertindak dengan tergesa-gesa atau gegabah.
Ketenangan
dalam Beribadah, Terkhusus ketika Shalat
Saudariku,
semoga Allah merahmati Anda sekalian.
Khusyuk di
dalam shalat adalah keadaan hati yang penuh kelembutan, ketenangan, dan
konsentrasi, disertai dengan kehadiran hati di hadapan Allah subhanahu wa
ta’ala. Kekhusyukan hati akan diikuti oleh kekhusyukan anggota badan.
Anggota badan menjadi tenang dan tidak melakukan banyak gerakan selain gerakan
shalat itu sendiri.
Kekhusyukan
hati akan diraih dengan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan
keagungan-Nya. Oleh karena itu, semakin besar pengenalan seseorang kepada Allah
dan keagungan-Nya, semakin khusyuklah dia. Di antara sebab terbesar untuk
mencapai kekhusyukan adalah memahami kalamullah l. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
لَوۡ أَنزَلۡنَا هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٖ لَّرَأَيۡتَهُۥ خَٰشِعٗا مُّتَصَدِّعٗا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ
يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Sekiranya
Kami turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya
tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah; dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.”
(al-Hasyr: 21)
Allah subhanahu
wa ta’ala menyebutkan pula bahwa di antara sifat orang-orang yang beriman
dari kalangan ulama ahlul kitab adalah khusyuk ketika mendengar al-Qur’anul
Karim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ
لِلۡأَذۡقَانِۤ
سُجَّدٗاۤ ١٠٧
وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ
رَبِّنَآ إِن كَانَ
وَعۡدُ رَبِّنَا
لَمَفۡعُولٗا ١٠٨
وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ
وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ ١٠٩
“Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila al-Qur’an dibacakan
kepada mereka, mereka pun menyungkur atas muka mereka sembari bersujud, dan
berkata, ‘Mahasuci Rabb kami. Sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’
Mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis, dan mereka pun bertambah
khusyuk.” (al-Isra’: 107—109)
Allah subhanahu
wa ta’ala telah mensyariatkan berbagai ibadah atas hamba-hamba-Nya, dan
yang dituntut dari ibadah tersebut ialah kekhusyukan hati dan badan. Jenis
ibadah yang terbesar di antaranya adalah shalat. Allah subhanahu wa ta’ala
memuji orang-orang yang khusyuk di dalam shalatnya, sebagaimana firman-Nya,
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ
٢
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1—2)
Bahkan,
syariat menuntun seorang hamba untuk bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa
saat akan memenuhi panggilan shalat. Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Jika iqamat untuk
shalat telah dikumandangkan, janganlah kalian memenuhinya dengan cara berlari,
tetapi penuhilah dengan berjalan dengan tenang. Apa pun yang kalian dapatkan,
shalatlah, dan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah’.”
Tenang dan
Santun dalam Bertutur Kata dan Berperilaku
Wanita
muslimah tidak bisa dikatakan telah berhias dengan akhlak mulia sebelum
memiliki sifat tenang dalam segala perilakunya, termasuk dalam hal bertutur
kata.
Tidak
selayaknya seorang wanita muslimah meninggikan suara saat berbicara kepada
sesamanya. Perbuatan ini tidak mengandung ketenangan dalam hal berbicara,
tetapi justru menunjukkan kurangnya adab. Allah subhanahu wa ta’ala
membimbingkan adab bertutur kata kepada hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ ١٩
“…dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman:
19)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Janganlah
berlebihan dalam bertutur kata. Janganlah meninggikan suara dalam hal yang
tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala
mengatakan,
إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ
“Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata tentang ayat وَٱغۡضُضۡ مِن
صَوۡتِكَۚ (dan lunakkanlah suaramu), “…dalam rangka beradab (ketika
berbicara) kepada sesama manusia dan (ketika berbicara) kepada Allah subhanahu
wa ta’ala.”
Termasuk
adab dalam bertutur kata dan menjaga ucapan adalah sebagaimana perintah Allah subhanahu
wa ta’ala,
وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا
“Ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia.” (al-Baqarah: 83)
Asy-Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Termasuk tutur kata yang
baik adalah amar ma’ruf nahi mungkar, mengajarkan ilmu kepada manusia,
menebarkan salam, (berbicara dengan) muka berseri-seri, dan sebagainya.
Seorang
insan tidak mungkin berbuat baik dengan hartanya kepada seluruh manusia. Oleh
karena itu, dia diperintah berbuat baik kepada mereka dengan hal yang dia
mampu, yaitu dengan ucapan yang baik. Jadi, ayat ini mengandung larangan
bertutur kata yang jelek kepada sesama manusia, termasuk kepada orang-orang
kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ
“Dan
janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling
baik….” (al-‘Ankabut:
46)
Di antara
adab yang dibimbingkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya
adalah berucap dan berbuat dengan ucapan dan perbuatan yang bersih, tidak
berbuat/berkata keji, tidak suka mencela, dan tidak senang berdebat. Akan
tetapi, hendaknya dia menjadi orang yang berakhlak baik, bersopan santun,
bersikap ramah kepada setiap orang, dan bersabar atas gangguan orang lain.
Semua itu dilakukannya dalam rangka merealisasikan perintah Allah dan
mengharapkan pahala-Nya.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan)
Untuk
menjaga ketenangan dalam bertutur kata, setiap wanita muslimah hendaknya tidak
banyak berbicara dan tidak mengucapkan perkataan yang sia-sia. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَمِعُواْ ٱللَّغۡوَ أَعۡرَضُواْ عَنۡهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا
وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡ سَلَٰمٌ
عَلَيۡكُمۡ لَا نَبۡتَغِي ٱلۡجَٰهِلِينَ
٥٥
“Dan
apabila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan
berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami, dan bagi kalian amal-amal kalian.
Kesejahteraan atas diri kalian. Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang
jahil’.” (al-Qashash: 55)
Disebutkan
dalam hadits shahih riwayat al-Imam at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
شِرَارُ أمَّتِي الثَّرْثَارُونَ المُتَشَدِّقُونَ
المُتَفَيْهِقُونَ، وَخِيَارُ أمَّتِي أَحَاسِنُهُمْ أَخْلَاقًا
“Orang-orang
terjelek di antara umatku adalah orang-orang yang berbicara dengan
berlebih-lebihan, berlagak fasih, dan melampaui batas. Adapun orang-orang
terbaik di antara umatku adalah yang paling baik akhlaknya.”
Tenang
Ketika Tertimpa Musibah
Ketika
seseorang tertimpa musibah yang mengubah keadaannya, ia akan merasa berat
karena dia menghadapinya tanpa kejujuran, keikhlasan, dan harapan akan pahala
Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Pada awal
musibah menimpanya, seseorang diuji apakah kesabarannya itu jujur atau dusta.
Apabila dia bersabar dan tenang pada awal terjadinya musibah, berubahlah
perasaan berat tersebut menjadi nikmat.
Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa putra Abu Thalhah menderita
sakit, lalu meninggal ketika Abu Thalhah sedang pergi. Setibanya Abu Thalhah di
rumah, dia menanyakan kondisi putranya itu kepada Ummu Sulaim radhiyallahu
‘anha, istrinya sekaligus ibu Anas sendiri. Berkatalah Ummu Sulaim dengan
penuh ketenangan, “Keadaannya lebih tenang daripada sebelumnya.”
Ummu Sulaim
menghidangkan makan malam untuk suaminya, maka Abu Thalhah menikmati makan
malamnya. Bahkan, pada malam tersebut Ummu Sulaim j berhias sehingga tampil
lebih cantik daripada biasanya. Akhirnya, Abu Thalhah menggauli Ummu Sulaim.
Seusai
melayani suaminya dan melihat bahwa suaminya telah mendapatkan kepuasan, Ummu
Sulaim pun mengungkapkan kejadian sesungguhnya. Dengan penuh ketenangan dan
hikmah Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika seseorang
meminjamkan sesuatu kepada sebuah keluarga, lantas dia meminta kembali
pinjamannya itu, layakkah mereka menolak mengembalikannya?”
Abu Thalhah
menjawab, “Tidak.”
“Kalau
begitu, harapkanlah pahala dari sisi Allah atas musibah kepergian anakmu,” kata
Ummu Sulaim.
Singkat
kisah, keesokan harinya Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu menemui
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan menceritakan peristiwa
tersebut kepada beliau. Usai mendengarnya, Rasulullah pun mendoakan mereka
berdua,
بَارَكَ اللهُ فِي لَيْلَتِكُمَا
“Semoga
Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Ummu Sulaim
pun mengandung. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan
suatu perjalanan, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim selalu menyertai beliau. Namun,
dalam perjalanan pulang, sebelum sampai di Madinah, Ummu Sulaim merasakan
kontraksi di perutnya sehingga dia dan suaminya tidak bisa melanjutkan
perjalanan.
Abu Thalhah
berdoa, “Ya Rabbku, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku sedang melakukan
perjalanan bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau
berangkat safar dan pulang, aku selalu menyertai beliau. Namun, saat ini aku
tertahan sebagaimana Engkau lihat.”
Tiba-tiba,
Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, sungguh telah hilang rasa sakit di
perutku, maka marilah kita melanjutkan perjalanan.”
Mereka
berdua pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah. Barulah di sana Ummu
Sulaim merasakan kontraksi kembali hingga lahirlah seorang putra. Ummu Sulaim
berkata kepada Anas, “Wahai Anas, jangan ada seorang pun yang menyusuinya
sebelum engkau membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.”
Anas
menggendong bayi itu lalu menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Renungan dan
Nasihat
Saudariku fillah, semoga
Allah merahmati Anda sekalian.
Demikianlah
satu gambaran sisi kehidupan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.
Figur mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhu, penuh ketenangan,
kelembutan, dan kesabaran ketika menghadapi sebuah musibah. Terpancar karisma
yang hendaknya menjadi teladan bagi setiap wanita muslimah: ketenangan
menghadapi musibah, santun bertutur kata, anggun dan memesona ketika melayani
suami, sekalipun sedang dirundung kesedihan dan ditimpa musibah. Di satu sisi,
ia adalah ibu yang kehilangan buah hatinya, dan di sisi lain, ia istri yang
dituntut untuk berkhidmah terhadap suaminya. Demikianlah figur mulia, buah dari
didikan dan bimbingan manusia yang paling mulia, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam. Sifat tenang, tutur kata, dan perilaku telah terbentuk
pada para wanita mulia dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Saudariku fillah,
dari siapa lagi kita akan mengambil teladan kalau bukan dari para shahabiyyah—semoga
Allah meridhai mereka semua?
Musuh-musuh
Islam, yaitu setan dari bangsa jin dan manusia, telah memasang berbagai
perangkap, khususnya untuk kaum wanita. Maka dari itu, setiap muslimah
hendaklah cermat dan lebih mengedepankan akalnya, tentu dengan bimbingan
syariat yang mulia ini. Berbagai media yang tidak mendidik, bahkan merusak,
menyajikan berbagai informasi atau tayangan yang bertujuan menyingkap aurat dan
menjatuhkan kewibawaan wanita-wanita muslimah. Ada yang mempromosikan jilbab
gaul, ada yang memajang iklan berbagai produk dengan menampilkan model yang
bergaya bak wanita-wanita fasik, ada yang memuat tulisan-tulisan di media
cetak, yang semua itu bertujuan merusak fitrah mulia wanita muslimah. Ada pula
tayangan hiburan yang menampilkan gelak tawa dan celotehan yang merusak sifat
tenang dan santun. Masih banyak lagi makar setan yang lain.
Hendaklah
wanita muslimah, baik para remaja maupun para ibu, waspada terhadap hal-hal di
atas. Seyogianya mereka senantiasa mempelajari ilmu agama dengan pemahaman yang
benar lalu mengamalkannya, menjaga sifat malu, menjaga akhlak mulia, dan
meneladani istri-istri Nabi ` secara khusus dan para shahabiyyah secara
umum.[1]
Dengan demikian, dia akan mendapatkan solusi untuk menjaga sifat santun,
ketenangan, dan kewibawaan yang senantiasa menghiasi jiwa setiap muslimah.
Namun, yang tidak kalah penting adalah senantiasa berdoa, memohon hidayah dan
taufik kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari segala tipu
daya musuh Islam dan muslimin. Wallahu ta’ala a’lam
https://qonitah.com/perilaku-tenang-karisma-wanita-salihah/