Peranan wanita dalam keluarga
Keluarga
merupakan pondasi dasar penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul
pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit
yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Dan peran terbesar dalam
hal tersebut adalah kaum wanita.
Pertama: Wanita sebagai seorang istri
Ketika
seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istri lah yang bisa membantunya.
Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istri lah yang dapat
menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri
lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh,
tidak ada yang mempunyai pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang
istri yang dicintainya.
Mengenai hal
ini, contohlah apa yang dilakukan oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah
Radiyallahu anha dalam mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika
Rasulullah merasa ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa
kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah kepadanya?
“Demi Allah,
Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka
menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup
kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau
menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Tidak ada
pangkat tertinggi melainkan pangkat seorang Nabi, dan tidak ada ujian yang
paling berat selain ujian menjadi seorang Nabi. Untuk itu, tidak ada obat
penenang bagi Rasulullah dalam mengemban amanah nubuwahnya melainkan istri yang
sangat dicintainya. Sampai-sampai ketika Aisyah cemburu kepada Khadijah, dan
berkata “Kenapa engkau sering menyebut perempuan berpipi merah itu, padahal
Allah telah menggantikannya untukmu dengan yang lebih baik?” Lantas
Rasulullah marah dan bersabda: “Bagaimana engkau berkata demikian?
Sungguh dia beriman kepadaku pada saat orang-orang menolakku, dia
membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dia mendermakan seluruh
hartanya untukku pada saat semua orang menolak mambantuku, dan Allah memberiku
rizki darinya berupa keturunan.” (HR Ahmad dengan Sanad yang Hasan)
Demikianlah
kecintaan Rasulullah kepada Khadijah, dan demikianlah seharusnya bagi seorang
wanita muslimah di dalam keluarganya. Tidak ada yang diinginkan bagi seorang
suami melainkan seorang istri yang dapat menerimanya apa adanya, percaya dan
yakin kepadanya dan selalu membantunya ketika sulitnya.
Inilah peran
yang seharusnya dilakukan bagi seorang wanita. Menjadi seorang pemimpin
bukanlah hal yang perlu dilakukan wanita, akan tetapi menjadi pendamping
seorang pemimpin (pemimpin rumah tangga atau lainnya) yang dapat membantu,
mengarahkan dan menenangkan adalah hal yang sangat mulia jika di dalamnya
berisi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Wanita sebagai seorang Ibu
Tidak ada
kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya
menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh
seseorang:
“Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?”
Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”,
tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”,
tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian
ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no.
6447)
Di dalam
rumah, siapakah yang mempunyai banyak waktu untuk anak-anak? Siapakah yang
lebih mempunyai pengaruh terhadap anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada
anak-anak? Tidak lain adalah ibu-ibu mereka. Seorang ibu merupakan seseorang
yang senantiasa diharapkan kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat
menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang baik sebagaimana seorang ibu bisa
menjadikan anaknya menjadi orang yang jahat. Baik buruknya seorang anak, dapat
dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya.
Pernahkah
kita membaca kisah-kisah kepahlawanan atau kemulian seseorang? Siapakah dalang
di dalam keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau
bahkan seorang imam? Tidak lain adalah seorang ibu yang membimbingnya.
Mari kita
simak perkataan seorang shahabiyah, Khansa ketika melepaskan keempat anaknya ke
medan jihad.
“Wahai
anak-anakku, kalian telah masuk islam dengan sukarela dan telah hijrah
berdasarkan keinginan kalian. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia,
sesungguhnya kalian adalah putra dari ayah yang sama dan dari ibu yang sama,
nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah bahwa seseungguhnya akhirat itu lebih
baik dari dunia yang fana. Bersabarlah, tabahlah dan teguhkanlah hati kalian
serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Jika kalian menemui
peperangan, maka masuklah ke dalam kancah peperangan itu dan raihlah kemenangan
dan kemuliaan di alam yang kekal dan penuh kenikmatan”
Keesokan
harinya, masuklah keempat anak tersebut dalam medan pertempuran dengan hati
yang masih ragu-ragu, lalu salah seorang dari mereka mengingatkan
saudara-saudaranya akan wasiat yang disampaikan oleh ibu mereka. Mereka pun
bertempur bagaikan singa dan menyerbu bagaikan anak panah dengan gagah berani
dan tidak pernah surut setapak pun hingga mereka memperoleh syahadah fii
sabilillah satu per satu. (Sirah Shahabiyah hal 742, Pustaka As-Sunnah)
Inilah
kekuatan seorang ibu yang diberikan kepada anak-anaknya. Tatkala sang anak
merasa ragu akan hal yang ingin diperbuatnya, namun mereka teringat akan
nasehat ibu mereka, maka semua keraguan itu menjadi hilang, yang ada hanya
semangat dan keyakinan akan harapan seorang ibu.
Demikianlah
peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala
yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi
Allah dan rasulnya. Karena anak-anaknya lah sumber pahala dirinya dan sumber
kebaikan untuknya.
Ketahuilah,
banyak dikalangan orang-orang besar, bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu
merupakan orang-orang yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Dan
lihatlah hasil yang di dapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu
dan para imam kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori
dll adalah para ulama yang dibesarkan hanya dari seorang
ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa dari seorang ibu
merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam kebaikan.
Tahukah para
pembaca dengan Imam Shalat Masjidil Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang
melatarbelakangi beliau menjadi Imam shalat Masjidil Haram? Tidak lain adalah
karena harapan dan doa dari ibu beliau. Seorang ibu yang terus menerus
memotivasi anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, telah membuat tekad
Syaikh Sudais kecil menjadi besar dan membuatnya bersemangat untuk menghafalkan
quran dan selalu berusaha agar keinginannya dan keinginan ibunya tercapai untuk
menjadi Imam Masjidil Haram.
Pernahkan
para pembaca membaca kisahnya seorang tabi’in Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi? Seorang
ulama yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk berjihad selama 30 tahun dan hidup
bersama ibunya. Dengan bekal yang diberikan oleh sang ayah, namun dihabiskan
hanya untuk pendidikan anaknya oleh ibunya, menjadikan sang anak berkembang
menjadi seorang ulama dan pemuka Madinah, yang bahkan Majelisnya dihadiri oleh
Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan
Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lainnya. Hal ini
karena pengaruh dari seorang ibu yang sholehah yang mendidik anaknya dengan
sangat baik.
Ini adalah
segelintir kisah-kisah yang mengagumkan akan pengaruh yang amat besar dari
seorang ibu, dan masih banyak kisah-kisah lainnya jika kita mau mencari dan
membacanya.
Karenanya,
jika para wanita sadar akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga,
niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar
keluarganya. Apalagi berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam
mencari nafkah.
Peranan wanita dalam masyarakat dan Negara
Wanita
disamping perannya dalam keluarga, ia juga bisa mempunyai peran lainnya di
dalam masyarakat dan Negara. Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama,
maka wajib baginya untuk mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita
lainnya. Begitu pula jika ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang tertentu,
maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut namun dengan batasan-batasan
yang telah disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai ibu rumah
tangga telah terpenuhi.
Banyak hal
yang bisa dilakukan kaum wanita dalam masyarakat dan Negara, dan ia punya
perannya masing-masing yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan para shahabiyah nabi.
Pada jaman
nabi, para shahabiyah biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau
sekedar menjadi penyemangat kaum muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari
mereka yang juga ikut berjuang berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan
syahadah fii sabilillah, seperti Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang
melindungi Rasulullah dalam peperangan.
Sehingga
dalam hal ini, peran wanita adalah sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Penutup
Jika kita
melihat akan keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk kaum wanita, maka
jelaslah bahwa wanita merupakan tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan
Negara. Masyarakat atau Negara yang baik dapat terlihat dari baiknya perempuan
di dalam Negara tersebut dan begitupun sebaliknya.
Karenanya,
peran wanita baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan peran yang sangat
agung yang tidak sepantasnya kaum wanita untuk menyepelekannya.
Persamaan
gender yang didengungkan oleh kaum barat, tidak lain adalah untuk menghancurkan
pondasi keislaman seorang muslimah, sehingga ia meninggalkan kewajibannya
sebagai seorang wanita.
Ingatlah,
Pemimpin-pemimpin yang adil dan generasi-generasi yang baik akan muncul seiring
dengan baiknya kaum wanita pada waktu tersebut.
Semoga
tulisan ini bermanfaat.
—