Perilaku Tenang, Karisma Wanita Salihah
Al-Ustadz Marwan
Wanita salihah memiliki sikap santun dan penuh kewibawaan, tenang dalam berucap dan beraktivitas, tidak sering menolehkan badan dan wajah saat berjalan. Oleh karena itu, ketika dia berbicara, orang yang diajak bicara pun mendengarkan dan menghargainya. Muslimah lain yang melihatnya pun menghormati dan memuliakannya. Sungguh, dia penuh karisma.
Itulah salah satu akhlak mulia yang mesti menghiasi jiwa setiap muslimah. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 6117), dari Busyair bin Ka’ab, dia menuturkan, “Termaktub dalam untaian ucapan hikmah, ‘Sesungguhnya sifat malu melahirkan kewibawaan dan ketenangan’.”
Makna السَّكِينَةُ (ketenangan) adalah tidak banyak menggerakkan anggota badan dan tidak gegabah (grusa-grusu, Jawa) dalam berperilaku, tetapi tenang hati, gerakan anggota badan, dan ucapannya. Sifat ini biasanya tidak terpisahkan dengan الْوَقَارُ (kewibawaan), yaitu tabiat baik yang menyebabkan pemiliknya dihormati dan dimuliakan oleh orang yang melihatnya.
An-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Perbedaan antara as-sakinah dan al-waqar adalah bahwa as-sakinah itu tidak tergesa-gesa dalam setiap gerak-gerik dan menjauhi hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-waqar adalah berpenampilan tenang, menundukkan pandangan, menjaga suara dalam bertutur kata, dan tidak menolah-nolehkan badan ataupun penglihatan.”
Dua sifat tersebut adalah sifat terbaik yang dikaruniakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada seorang hamba. Jika hamba tidak memiliki dua sifat mulia tersebut dan justru memiliki sifat kebalikannya, sungguh dia tidak memiliki kepribadian yang baik. Dia tidak lagi menyandang kewibawaan akhlak mulia. Dia tidak pula memiliki ketenangan berperilaku. Sebaliknya, jiwa dan pribadinya hina di hadapan orang lain.
Lawan kedua sifat tersebut adalah sering menggerakkan anggota badan, sering menoleh, dan bertindak dengan tergesa-gesa atau gegabah.
Ketenangan dalam Beribadah, Terkhusus ketika Shalat
Saudariku, semoga Allah merahmati Anda sekalian.
Khusyuk di dalam shalat adalah keadaan hati yang penuh kelembutan, ketenangan, dan konsentrasi, disertai dengan kehadiran hati di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Kekhusyukan hati akan diikuti oleh kekhusyukan anggota badan. Anggota badan menjadi tenang dan tidak melakukan banyak gerakan selain gerakan shalat itu sendiri.
Kekhusyukan hati akan diraih dengan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, semakin besar pengenalan seseorang kepada Allah dan keagungan-Nya, semakin khusyuklah dia. Di antara sebab terbesar untuk mencapai kekhusyukan adalah memahami kalamullah l. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pula bahwa di antara sifat orang-orang yang beriman dari kalangan ulama ahlul kitab adalah khusyuk ketika mendengar al-Qur’anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan berbagai ibadah atas hamba-hamba-Nya, dan yang dituntut dari ibadah tersebut ialah kekhusyukan hati dan badan. Jenis ibadah yang terbesar di antaranya adalah shalat. Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang khusyuk di dalam shalatnya, sebagaimana firman-Nya,
Bahkan, syariat menuntun seorang hamba untuk bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa saat akan memenuhi panggilan shalat. Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Jika iqamat untuk shalat telah dikumandangkan, janganlah kalian memenuhinya dengan cara berlari, tetapi penuhilah dengan berjalan dengan tenang. Apa pun yang kalian dapatkan, shalatlah, dan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah’.”
Tenang dan Santun dalam Bertutur Kata dan Berperilaku
Wanita muslimah tidak bisa dikatakan telah berhias dengan akhlak mulia sebelum memiliki sifat tenang dalam segala perilakunya, termasuk dalam hal bertutur kata.
Tidak selayaknya seorang wanita muslimah meninggikan suara saat berbicara kepada sesamanya. Perbuatan ini tidak mengandung ketenangan dalam hal berbicara, tetapi justru menunjukkan kurangnya adab. Allah subhanahu wa ta’ala membimbingkan adab bertutur kata kepada hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Janganlah berlebihan dalam bertutur kata. Janganlah meninggikan suara dalam hal yang tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata tentang ayat وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ (dan lunakkanlah suaramu), “…dalam rangka beradab (ketika berbicara) kepada sesama manusia dan (ketika berbicara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Termasuk adab dalam bertutur kata dan menjaga ucapan adalah sebagaimana perintah Allah subhanahu wa ta’ala,
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Termasuk tutur kata yang baik adalah amar ma’ruf nahi mungkar, mengajarkan ilmu kepada manusia, menebarkan salam, (berbicara dengan) muka berseri-seri, dan sebagainya.
Seorang insan tidak mungkin berbuat baik dengan hartanya kepada seluruh manusia. Oleh karena itu, dia diperintah berbuat baik kepada mereka dengan hal yang dia mampu, yaitu dengan ucapan yang baik. Jadi, ayat ini mengandung larangan bertutur kata yang jelek kepada sesama manusia, termasuk kepada orang-orang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Di antara adab yang dibimbingkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya adalah berucap dan berbuat dengan ucapan dan perbuatan yang bersih, tidak berbuat/berkata keji, tidak suka mencela, dan tidak senang berdebat. Akan tetapi, hendaknya dia menjadi orang yang berakhlak baik, bersopan santun, bersikap ramah kepada setiap orang, dan bersabar atas gangguan orang lain. Semua itu dilakukannya dalam rangka merealisasikan perintah Allah dan mengharapkan pahala-Nya.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan)
Untuk menjaga ketenangan dalam bertutur kata, setiap wanita muslimah hendaknya tidak banyak berbicara dan tidak mengucapkan perkataan yang sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Disebutkan dalam hadits shahih riwayat al-Imam at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
Tenang Ketika Tertimpa Musibah
Ketika seseorang tertimpa musibah yang mengubah keadaannya, ia akan merasa berat karena dia menghadapinya tanpa kejujuran, keikhlasan, dan harapan akan pahala Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Pada awal musibah menimpanya, seseorang diuji apakah kesabarannya itu jujur atau dusta. Apabila dia bersabar dan tenang pada awal terjadinya musibah, berubahlah perasaan berat tersebut menjadi nikmat.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa putra Abu Thalhah menderita sakit, lalu meninggal ketika Abu Thalhah sedang pergi. Setibanya Abu Thalhah di rumah, dia menanyakan kondisi putranya itu kepada Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, istrinya sekaligus ibu Anas sendiri. Berkatalah Ummu Sulaim dengan penuh ketenangan, “Keadaannya lebih tenang daripada sebelumnya.”
Ummu Sulaim menghidangkan makan malam untuk suaminya, maka Abu Thalhah menikmati makan malamnya. Bahkan, pada malam tersebut Ummu Sulaim j berhias sehingga tampil lebih cantik daripada biasanya. Akhirnya, Abu Thalhah menggauli Ummu Sulaim.
Seusai melayani suaminya dan melihat bahwa suaminya telah mendapatkan kepuasan, Ummu Sulaim pun mengungkapkan kejadian sesungguhnya. Dengan penuh ketenangan dan hikmah Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika seseorang meminjamkan sesuatu kepada sebuah keluarga, lantas dia meminta kembali pinjamannya itu, layakkah mereka menolak mengembalikannya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu, harapkanlah pahala dari sisi Allah atas musibah kepergian anakmu,” kata Ummu Sulaim.
Singkat kisah, keesokan harinya Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan menceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Usai mendengarnya, Rasulullah pun mendoakan mereka berdua,
Ummu Sulaim pun mengandung. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan suatu perjalanan, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim selalu menyertai beliau. Namun, dalam perjalanan pulang, sebelum sampai di Madinah, Ummu Sulaim merasakan kontraksi di perutnya sehingga dia dan suaminya tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Abu Thalhah berdoa, “Ya Rabbku, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku sedang melakukan perjalanan bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau berangkat safar dan pulang, aku selalu menyertai beliau. Namun, saat ini aku tertahan sebagaimana Engkau lihat.”
Tiba-tiba, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, sungguh telah hilang rasa sakit di perutku, maka marilah kita melanjutkan perjalanan.”
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah. Barulah di sana Ummu Sulaim merasakan kontraksi kembali hingga lahirlah seorang putra. Ummu Sulaim berkata kepada Anas, “Wahai Anas, jangan ada seorang pun yang menyusuinya sebelum engkau membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.”
Anas menggendong bayi itu lalu menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Renungan dan Nasihat
Saudariku fillah, semoga Allah merahmati Anda sekalian.
Demikianlah satu gambaran sisi kehidupan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Figur mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhu, penuh ketenangan, kelembutan, dan kesabaran ketika menghadapi sebuah musibah. Terpancar karisma yang hendaknya menjadi teladan bagi setiap wanita muslimah: ketenangan menghadapi musibah, santun bertutur kata, anggun dan memesona ketika melayani suami, sekalipun sedang dirundung kesedihan dan ditimpa musibah. Di satu sisi, ia adalah ibu yang kehilangan buah hatinya, dan di sisi lain, ia istri yang dituntut untuk berkhidmah terhadap suaminya. Demikianlah figur mulia, buah dari didikan dan bimbingan manusia yang paling mulia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Sifat tenang, tutur kata, dan perilaku telah terbentuk pada para wanita mulia dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Saudariku fillah, dari siapa lagi kita akan mengambil teladan kalau bukan dari para shahabiyyah—semoga Allah meridhai mereka semua?
Musuh-musuh Islam, yaitu setan dari bangsa jin dan manusia, telah memasang berbagai perangkap, khususnya untuk kaum wanita. Maka dari itu, setiap muslimah hendaklah cermat dan lebih mengedepankan akalnya, tentu dengan bimbingan syariat yang mulia ini. Berbagai media yang tidak mendidik, bahkan merusak, menyajikan berbagai informasi atau tayangan yang bertujuan menyingkap aurat dan menjatuhkan kewibawaan wanita-wanita muslimah. Ada yang mempromosikan jilbab gaul, ada yang memajang iklan berbagai produk dengan menampilkan model yang bergaya bak wanita-wanita fasik, ada yang memuat tulisan-tulisan di media cetak, yang semua itu bertujuan merusak fitrah mulia wanita muslimah. Ada pula tayangan hiburan yang menampilkan gelak tawa dan celotehan yang merusak sifat tenang dan santun. Masih banyak lagi makar setan yang lain.
Hendaklah wanita muslimah, baik para remaja maupun para ibu, waspada terhadap hal-hal di atas. Seyogianya mereka senantiasa mempelajari ilmu agama dengan pemahaman yang benar lalu mengamalkannya, menjaga sifat malu, menjaga akhlak mulia, dan meneladani istri-istri Nabi ` secara khusus dan para shahabiyyah secara umum.[1] Dengan demikian, dia akan mendapatkan solusi untuk menjaga sifat santun, ketenangan, dan kewibawaan yang senantiasa menghiasi jiwa setiap muslimah. Namun, yang tidak kalah penting adalah senantiasa berdoa, memohon hidayah dan taufik kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari segala tipu daya musuh Islam dan muslimin. Wallahu ta’ala a’lam.
[1] Figur tentang istri-istri Nabi ` dan para shahabiyah bisa Anda telaah pada rubrik ‘Figur Mulia’ di Majalah Muslimah Qonitah setiap edisinya.
Wanita salihah memiliki sikap santun dan penuh kewibawaan, tenang dalam berucap dan beraktivitas, tidak sering menolehkan badan dan wajah saat berjalan. Oleh karena itu, ketika dia berbicara, orang yang diajak bicara pun mendengarkan dan menghargainya. Muslimah lain yang melihatnya pun menghormati dan memuliakannya. Sungguh, dia penuh karisma.
Itulah salah satu akhlak mulia yang mesti menghiasi jiwa setiap muslimah. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (no. 6117), dari Busyair bin Ka’ab, dia menuturkan, “Termaktub dalam untaian ucapan hikmah, ‘Sesungguhnya sifat malu melahirkan kewibawaan dan ketenangan’.”
Makna السَّكِينَةُ (ketenangan) adalah tidak banyak menggerakkan anggota badan dan tidak gegabah (grusa-grusu, Jawa) dalam berperilaku, tetapi tenang hati, gerakan anggota badan, dan ucapannya. Sifat ini biasanya tidak terpisahkan dengan الْوَقَارُ (kewibawaan), yaitu tabiat baik yang menyebabkan pemiliknya dihormati dan dimuliakan oleh orang yang melihatnya.
An-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Perbedaan antara as-sakinah dan al-waqar adalah bahwa as-sakinah itu tidak tergesa-gesa dalam setiap gerak-gerik dan menjauhi hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-waqar adalah berpenampilan tenang, menundukkan pandangan, menjaga suara dalam bertutur kata, dan tidak menolah-nolehkan badan ataupun penglihatan.”
Dua sifat tersebut adalah sifat terbaik yang dikaruniakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada seorang hamba. Jika hamba tidak memiliki dua sifat mulia tersebut dan justru memiliki sifat kebalikannya, sungguh dia tidak memiliki kepribadian yang baik. Dia tidak lagi menyandang kewibawaan akhlak mulia. Dia tidak pula memiliki ketenangan berperilaku. Sebaliknya, jiwa dan pribadinya hina di hadapan orang lain.
Lawan kedua sifat tersebut adalah sering menggerakkan anggota badan, sering menoleh, dan bertindak dengan tergesa-gesa atau gegabah.
Ketenangan dalam Beribadah, Terkhusus ketika Shalat
Saudariku, semoga Allah merahmati Anda sekalian.
Khusyuk di dalam shalat adalah keadaan hati yang penuh kelembutan, ketenangan, dan konsentrasi, disertai dengan kehadiran hati di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Kekhusyukan hati akan diikuti oleh kekhusyukan anggota badan. Anggota badan menjadi tenang dan tidak melakukan banyak gerakan selain gerakan shalat itu sendiri.
Kekhusyukan hati akan diraih dengan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, semakin besar pengenalan seseorang kepada Allah dan keagungan-Nya, semakin khusyuklah dia. Di antara sebab terbesar untuk mencapai kekhusyukan adalah memahami kalamullah l. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَوۡ
أَنزَلۡنَا هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٖ لَّرَأَيۡتَهُۥ خَٰشِعٗا
مُّتَصَدِّعٗا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Sekiranya Kami turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya
kepada Allah; dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr: 21)Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pula bahwa di antara sifat orang-orang yang beriman dari kalangan ulama ahlul kitab adalah khusyuk ketika mendengar al-Qur’anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ
ءَامِنُواْ بِهِۦٓ أَوۡ لَا تُؤۡمِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ
ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦٓ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ يَخِرُّونَۤ
لِلۡأَذۡقَانِۤ سُجَّدٗاۤ ١٠٧ وَيَقُولُونَ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِن كَانَ
وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُولٗا ١٠٨ وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ
وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ ١٠٩
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya,
apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka pun menyungkur atas
muka mereka sembari bersujud, dan berkata, ‘Mahasuci Rabb kami.
Sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Mereka menyungkur atas
muka mereka sambil menangis, dan mereka pun bertambah khusyuk.” (al-Isra’: 107—109)Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan berbagai ibadah atas hamba-hamba-Nya, dan yang dituntut dari ibadah tersebut ialah kekhusyukan hati dan badan. Jenis ibadah yang terbesar di antaranya adalah shalat. Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang khusyuk di dalam shalatnya, sebagaimana firman-Nya,
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1—2)Bahkan, syariat menuntun seorang hamba untuk bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa saat akan memenuhi panggilan shalat. Disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Jika iqamat untuk shalat telah dikumandangkan, janganlah kalian memenuhinya dengan cara berlari, tetapi penuhilah dengan berjalan dengan tenang. Apa pun yang kalian dapatkan, shalatlah, dan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah’.”
Tenang dan Santun dalam Bertutur Kata dan Berperilaku
Wanita muslimah tidak bisa dikatakan telah berhias dengan akhlak mulia sebelum memiliki sifat tenang dalam segala perilakunya, termasuk dalam hal bertutur kata.
Tidak selayaknya seorang wanita muslimah meninggikan suara saat berbicara kepada sesamanya. Perbuatan ini tidak mengandung ketenangan dalam hal berbicara, tetapi justru menunjukkan kurangnya adab. Allah subhanahu wa ta’ala membimbingkan adab bertutur kata kepada hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ ١٩
“…dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19)Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Janganlah berlebihan dalam bertutur kata. Janganlah meninggikan suara dalam hal yang tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ
“Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata tentang ayat وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ (dan lunakkanlah suaramu), “…dalam rangka beradab (ketika berbicara) kepada sesama manusia dan (ketika berbicara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Termasuk adab dalam bertutur kata dan menjaga ucapan adalah sebagaimana perintah Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسۡنٗا
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (al-Baqarah: 83)Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Termasuk tutur kata yang baik adalah amar ma’ruf nahi mungkar, mengajarkan ilmu kepada manusia, menebarkan salam, (berbicara dengan) muka berseri-seri, dan sebagainya.
Seorang insan tidak mungkin berbuat baik dengan hartanya kepada seluruh manusia. Oleh karena itu, dia diperintah berbuat baik kepada mereka dengan hal yang dia mampu, yaitu dengan ucapan yang baik. Jadi, ayat ini mengandung larangan bertutur kata yang jelek kepada sesama manusia, termasuk kepada orang-orang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ
“Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik….” (al-‘Ankabut: 46)Di antara adab yang dibimbingkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya adalah berucap dan berbuat dengan ucapan dan perbuatan yang bersih, tidak berbuat/berkata keji, tidak suka mencela, dan tidak senang berdebat. Akan tetapi, hendaknya dia menjadi orang yang berakhlak baik, bersopan santun, bersikap ramah kepada setiap orang, dan bersabar atas gangguan orang lain. Semua itu dilakukannya dalam rangka merealisasikan perintah Allah dan mengharapkan pahala-Nya.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan)
Untuk menjaga ketenangan dalam bertutur kata, setiap wanita muslimah hendaknya tidak banyak berbicara dan tidak mengucapkan perkataan yang sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا
سَمِعُواْ ٱللَّغۡوَ أَعۡرَضُواْ عَنۡهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا
وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ لَا نَبۡتَغِي ٱلۡجَٰهِلِينَ ٥٥
“Dan apabila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling darinya dan berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami, dan bagi
kalian amal-amal kalian. Kesejahteraan atas diri kalian. Kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil’.” (al-Qashash: 55)Disebutkan dalam hadits shahih riwayat al-Imam at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
شِرَارُ أمَّتِي الثَّرْثَارُونَ المُتَشَدِّقُونَ المُتَفَيْهِقُونَ، وَخِيَارُ أمَّتِي أَحَاسِنُهُمْ أَخْلَاقًا
“Orang-orang terjelek di antara umatku adalah orang-orang yang berbicara dengan berlebih-lebihan, berlagak fasih, dan melampaui batas. Adapun orang-orang terbaik di antara umatku adalah yang paling baik akhlaknya.”Tenang Ketika Tertimpa Musibah
Ketika seseorang tertimpa musibah yang mengubah keadaannya, ia akan merasa berat karena dia menghadapinya tanpa kejujuran, keikhlasan, dan harapan akan pahala Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Pada awal musibah menimpanya, seseorang diuji apakah kesabarannya itu jujur atau dusta. Apabila dia bersabar dan tenang pada awal terjadinya musibah, berubahlah perasaan berat tersebut menjadi nikmat.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa putra Abu Thalhah menderita sakit, lalu meninggal ketika Abu Thalhah sedang pergi. Setibanya Abu Thalhah di rumah, dia menanyakan kondisi putranya itu kepada Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, istrinya sekaligus ibu Anas sendiri. Berkatalah Ummu Sulaim dengan penuh ketenangan, “Keadaannya lebih tenang daripada sebelumnya.”
Ummu Sulaim menghidangkan makan malam untuk suaminya, maka Abu Thalhah menikmati makan malamnya. Bahkan, pada malam tersebut Ummu Sulaim j berhias sehingga tampil lebih cantik daripada biasanya. Akhirnya, Abu Thalhah menggauli Ummu Sulaim.
Seusai melayani suaminya dan melihat bahwa suaminya telah mendapatkan kepuasan, Ummu Sulaim pun mengungkapkan kejadian sesungguhnya. Dengan penuh ketenangan dan hikmah Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika seseorang meminjamkan sesuatu kepada sebuah keluarga, lantas dia meminta kembali pinjamannya itu, layakkah mereka menolak mengembalikannya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu, harapkanlah pahala dari sisi Allah atas musibah kepergian anakmu,” kata Ummu Sulaim.
Singkat kisah, keesokan harinya Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan menceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Usai mendengarnya, Rasulullah pun mendoakan mereka berdua,
بَارَكَ اللهُ فِي لَيْلَتِكُمَا
“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”Ummu Sulaim pun mengandung. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan suatu perjalanan, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim selalu menyertai beliau. Namun, dalam perjalanan pulang, sebelum sampai di Madinah, Ummu Sulaim merasakan kontraksi di perutnya sehingga dia dan suaminya tidak bisa melanjutkan perjalanan.
Abu Thalhah berdoa, “Ya Rabbku, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku sedang melakukan perjalanan bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau berangkat safar dan pulang, aku selalu menyertai beliau. Namun, saat ini aku tertahan sebagaimana Engkau lihat.”
Tiba-tiba, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, sungguh telah hilang rasa sakit di perutku, maka marilah kita melanjutkan perjalanan.”
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di Madinah. Barulah di sana Ummu Sulaim merasakan kontraksi kembali hingga lahirlah seorang putra. Ummu Sulaim berkata kepada Anas, “Wahai Anas, jangan ada seorang pun yang menyusuinya sebelum engkau membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.”
Anas menggendong bayi itu lalu menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Renungan dan Nasihat
Saudariku fillah, semoga Allah merahmati Anda sekalian.
Demikianlah satu gambaran sisi kehidupan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Figur mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhu, penuh ketenangan, kelembutan, dan kesabaran ketika menghadapi sebuah musibah. Terpancar karisma yang hendaknya menjadi teladan bagi setiap wanita muslimah: ketenangan menghadapi musibah, santun bertutur kata, anggun dan memesona ketika melayani suami, sekalipun sedang dirundung kesedihan dan ditimpa musibah. Di satu sisi, ia adalah ibu yang kehilangan buah hatinya, dan di sisi lain, ia istri yang dituntut untuk berkhidmah terhadap suaminya. Demikianlah figur mulia, buah dari didikan dan bimbingan manusia yang paling mulia, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Sifat tenang, tutur kata, dan perilaku telah terbentuk pada para wanita mulia dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Saudariku fillah, dari siapa lagi kita akan mengambil teladan kalau bukan dari para shahabiyyah—semoga Allah meridhai mereka semua?
Musuh-musuh Islam, yaitu setan dari bangsa jin dan manusia, telah memasang berbagai perangkap, khususnya untuk kaum wanita. Maka dari itu, setiap muslimah hendaklah cermat dan lebih mengedepankan akalnya, tentu dengan bimbingan syariat yang mulia ini. Berbagai media yang tidak mendidik, bahkan merusak, menyajikan berbagai informasi atau tayangan yang bertujuan menyingkap aurat dan menjatuhkan kewibawaan wanita-wanita muslimah. Ada yang mempromosikan jilbab gaul, ada yang memajang iklan berbagai produk dengan menampilkan model yang bergaya bak wanita-wanita fasik, ada yang memuat tulisan-tulisan di media cetak, yang semua itu bertujuan merusak fitrah mulia wanita muslimah. Ada pula tayangan hiburan yang menampilkan gelak tawa dan celotehan yang merusak sifat tenang dan santun. Masih banyak lagi makar setan yang lain.
Hendaklah wanita muslimah, baik para remaja maupun para ibu, waspada terhadap hal-hal di atas. Seyogianya mereka senantiasa mempelajari ilmu agama dengan pemahaman yang benar lalu mengamalkannya, menjaga sifat malu, menjaga akhlak mulia, dan meneladani istri-istri Nabi ` secara khusus dan para shahabiyyah secara umum.[1] Dengan demikian, dia akan mendapatkan solusi untuk menjaga sifat santun, ketenangan, dan kewibawaan yang senantiasa menghiasi jiwa setiap muslimah. Namun, yang tidak kalah penting adalah senantiasa berdoa, memohon hidayah dan taufik kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari segala tipu daya musuh Islam dan muslimin. Wallahu ta’ala a’lam.
[1] Figur tentang istri-istri Nabi ` dan para shahabiyah bisa Anda telaah pada rubrik ‘Figur Mulia’ di Majalah Muslimah Qonitah setiap edisinya.