Hukum Menalak Istri yang Sedang Hamil
Talak Ketika HamilMasalah ini banyak dibicarakan masyarakat. Sebagian orang awam beranggapan bahwa talak untuk istri yang sedang hamil, tidak sah. Saya tidak tahu, dari mana datangnya anggapan semacam ini. Sementara tidak ada satupun keterangan dari ulama. Namun, keterangan yang ada dari para ulama bahwa talak untuk istri yang sedang hamil adalah sah. Ini adalah kesepakatan ulama, tidak ada perselisihan. Terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tatkala Ibnu Umar mentalak istrinya ketika haid, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk mempertahankan istrinya sampai selesai haidnya dan bersuci.
Kemudian beliau bersabda,
ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Silahkan talak istrimu, dalam kondisi suci atau ketika sedang hamil.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa talak untuk wanita hamil statusnya sama dengan talak untuk wanita suci yang belum disetubuhi. Ringkasnya, mentalak wanita ketika hamil hukumnya boleh. Bahkan termasuk talak sunnah, menurut pendapat yang kuat. Talak yang dilarang adalah talak sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, yaitu talak ketika haid atau nifas. Selama wanita sedang haid atau nifas maka tidak boleh seorang suami yang muslim mentalaknya.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa talak meskipun halal atau diperbolehkan, tetapi ia merupakan perbuatan yang tidak disukai Allah. Karena itu talak mesti dipahami sebagai solusi terakhir ketika sudah ditemukan solusi lain untuk menyelesaikan kemelut dalam kehidupan berumah tangga.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim diceritakan bahwa Ibnu Umar RA menalak istrinya dalam kondisi haid. Kejadian itu kemudian diceritakan oleh Umar bin Khatthab RA kepada Rasulullah SAW.
Mendengar cerita tersebut lantas Rasulullah SAW meminta Umar bin Khaththab RA agar memerintahkan putranya untuk kembali kepada istrinya. Baru kemudian jika ia tetap ingin menceraikannya, maka ceraikan ketika dalam kondisi suci atau hamil.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا
Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa ia pernah menalak istrinya dalam keadaan haid. Kemudian Umar bin Khatthab RA menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi. Lantas beliau pun berkata kepada Umar bin Khatthab RA, ‘Perintah kepada dia (Ibnu Umar RA) untuk kembali kepada istrinya, baru kemudian talaklah dia dalam keadaan suci atau hamil,” (HR Muslim).
Perintah Rasulullah saw kepada Ibnu Umar RA melalui ayahnya, yaitu Umar bin Khaththab RA itu setidaknya mengadung dua hal penting. Pertama, larangan untuk menalak wanita dalam keadaan haid. Kedua, kebolehan menalak wanita dalam keadaan suci atau hamil.
Senada dengan hal ini Muhyidin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Muslim-nya menjelaskan bahwa kandungan hadits tersebut menunjukkan kebolehan menalak wanita yang sedang hamil yang jelas kehamilannya. Menurutnya, ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i.
Lebih lanjut, menurut Ibnul Mundzir, pandangan Madzhab Syafi‘i ini adalah pendapat mayoritas ulama. Di antara mereka adalah Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid.
فِيهِ دَلَالَةٌ لِجَوَازِ طَلَاقِ الْحَامِلِ الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلُهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ قَالَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَبِهِ قاَلَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ مِنْهُمْ طَاوُسٌ وَالْحَسَنُ وَبْنُ سِيرِينَ وَرَبِيعَةٌ وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ
Artinya, “Hadits ini menunjukkan kebolehan menalak wanita hamil ketika memang jelas kehamilannya. Ini adalah pandangan Madzhab Syafi‘i. Ibnul Mundzir berkata, pandangan ini juga dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Thawus, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Rabiah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, Kairo, Darul Hadits, cet ke-4, 1422 H/2001 M, juz V, halaman 325).
Ibnul Mundzir juga mengamini pendapat yang menyatakan kebolehan menalak wanita yang dalam kondisi hamil. Demikian juga sebagian ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Namun ada juga sebagian ulama Madzhab Maliki yang mengharamkannya. Sedangkan riwayat lain mengtakan, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh.
قَالَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَبِهِ أَقُولُ وَبِهِ قَالَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ حَرَامٌ وَحَكَى بْنْ الْمُنْذِرِ رِوَايَةً أُخْرَى عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ طَلَاقُ الْحَامِلِ مَكْرُوهٌ
Artinya, “Ibnul Mundzir berkata, saya juga berpendapat demikian. Begitu juga dengan sebagian ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Sedang sebagian yang lain menyatakan haram. Ibnul Mundzir juga meriwayatkan riwayat jalur lain dari Al-Hasan. Menurut riwayat jalur ini, Al-Hasan berpendapat bahwa menalak wanita yang sedang hamil adalah makruh,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, juz V, halaman 325).
Berangkat dari penjelasan di atas, maka kita dapat menarik simpulan bahwa mayoritas ulama memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil kendati ada yang menyatakan bahwa makruh dan haram.
Namun pendapat yang dianggap kuat adalah pendapat mayoritas ulama yang memperbolehkan penalakan wanita yang sedang hamil. Dan iddah bagi wanita hamil yang ditalak adalah sampai ia melahirkan kandungannya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya, “Wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungan,” (QS At-Thalaq [65]: 4).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
nu.or.id/post